Minggu, 30 Maret 2014

Cibiru Memories


Akhir tahun lalu, tepatnya Desember kemarin, aku berlibur ke kota kembang Bandung. Selapas muter-muter kota kembang, sekitar pukul 11.30 menuju ke Terminal Cicaheum untuk melanjutkan perajalan ke Tasikmalaya. Karena padatnya jalan, bis tidak kunjung datang, sementara penumpang menumpuk. Daripada kelamaan nunggu, dan perut udah keroncongan, akhirnya aku putuskan untuk menikmati Bakso di dekat Terminal Cicaheum. Selesai makan, aku kembali ke Terminal Cicaheum.


Dan akhirnya datang juga bis Budiman IL 073 tujuan Tasikmalaya-Bandung. Seketika, ketika bis masuk ke Terminal Cicaheum, penumpang yang telah lama menunggu langsung berebut kursi. Awalnya aku mengincar kursi paling depan, namun apa daya, aku sama sekali belum pernah ke Terminal Cicaheum sebelumnya. Aku belum punya pengalaman mengenai hal yang satu ini.

Akhirnya bukan hot seat yang kudapat, tapi kursi deket pintu belakang yangkudapat pada akhirnya. Tak lama kemudian, bis langsung putar badan, capcuss dari Terminal Cicaheum. *Goodbye Bandung, kamu kenangan dehh pokoknya*

Duduk di kursi belakang, menjadi hal yang menarik bagiku, karena dari kursi belakang, aku bisa melihat seluruh kondisi penumpang di dalam bis.

Sampailah bis di Pool Cibiru (Pool milik PO Budiman cabang Bandung). Ini adalah kali pertama aku di Pool Cibiru, karena sebelumnya aku nggak pernah ke tempat tersebut.

Selama ini aku cuma nonton foto orang-orang yang nge-upload tentang kondisi Pool Cibiru.

Naah di bagian inilah, kenapa aku mengambil judul Cibiru Memories.

Ketika itu, tidak hal yang aneh di mataku. Hingga akhirnya sejenak mataku melihat kondisi luar, dimana para penumpang yang naik dari Pool Cibiru mulai naik ke dalam bis satu persatu. Padahal ketika itu bis sudah aku anggap penuh.

Mataku kemudian tertuju kepada seorang laki-laki dewasa yang sibuk membantu penumpang dan kenek yang sedang memasukkan barang ke dalam bagasi bis. Awalnya aku anggap dia adalah seorang crew. Tapi kalopun itu crew, masa nggak pake seragam.

Selang kemudian, ada seorang ibu bersama keempat anaknya yang hendak menaiki bis, lagi-lagi orang tersebut membantu dengan mengendong anak yang paling kecil diantara keempat anak dari ibu tersebut. Anggapanku bahwa dia crew berubah. Mungkin dia suami dari ibu tersebut.

Kemudian pikiranku berubah lagi. Kok pas anak yang paling kecil di bantu untuk di naikin ke dalam bis, dia merengek nangis. Anak tersebut juga merasa asing dengan orang yang menggendongnya. Tatapan wajahnya seakan menunjukkan rasa asing kepada orang tersebut.

Aku yang awalnya duduk di kursi paling belakang, ternyata terkejut melihat di bagian belakangku ternyata masih ada tempat yang di fungsikan sebagai kursi cadangan.

Setelah membantu ibu dan keempat anaknya, dia masih saja membantu penumpang lain, kali ini berusaha mencarikan tempat bagi penumpang yang masih belum keangkut. Pikiranku kembali ke prediksi awalkubahwa dia adalah seorang crew.

Setelah selesai membantu, dia kemudian turun dari dalam bis. Selang beberapa saat kemudian dia kembali naik ke dalam bis dengan membawa sebuah gitar.

Betapa terkejutnya aku. Ternyata dia bukanlah suami dari ibu tadi, ataupun crew bis. Ternyata dia adalah seorang pengamen.

Selama di dalam bis, aku adalah orang yang paling merasa minder, karena komunikasi di dalam bis full seluruhnya pake Bahasa Sunda, sementara aku asyik berbincang dengan pamankudengan Bahasa Jawa. Hingga kemudian salah satu anak dari ibu tadi bertanya kepada ibunya.

"Papat teh naon?" tanya anak tersebut kepada ibunya.

"Papat teh Opat. Eta basa jawa" jawab ibu tersebut.

"Eta Urang jawa?" sahut anak ibu tersebut.
 
Aku pun tersenyum kecil tersipu malu, karena sebelum anak tersebut bertanya kepada ibunya, aku berkata kepada pamanku yang ada di sampingku.

"Piye iki lek, nek dalane macet koyo ngene, tekan Tasik iso tekan jam papat iki" ucapku.

"Jam papat, iso wae. Hla wong aku yo sakdurunge yo rung tau numpak bis Bandung-Tasik og Lan. Nikmati wae, hla wong iki liburan yo dalan macet wis lumrah." jawab pamanku.

Selang bebarapa lama, pengamen tadi akhirnya memetik gitarnya untuk bernyanyi. Di saat itu dia menyanyikan tembang sunda yangkunggak tau maksud dari lagu tersebut. 

Betapa tersentuhnya hatiku kepada pengamen tersebut. Ketika ia selesai menyanyi dan kemudian meninta uluran tangan seikhlasnya kepada para penumpang, sedikit penumpang yang menggubrisnya, mungkin karena kebanyakan dari penumpang tertidur. Penumpang yang tidak tertidur juga sedikit mengulurkan tangannya kepada pengamen tersebut. Lebih parah lagi, orang yang sewaktu di Pool Cibiru di bantu sama pengamen tersebut, juga ikut-ikutan acuh tak acuh.

Tapi meskipun begitu, pengamen tadi tidak membentak atau berlaku kasar kepada penumpang yang tidak berkenan memberikan uluran tangan seikhlasnya. Ia juga tidak mengeluh karena tidak di beri. Ia tetap tersenyum dan berucap terima kasih kepada para penumpang, baik yang mengulurkan ataupun tidak sama sekali. Uang berapa pun itu yang ia terima, ia terima dengan apa adanya, meskipun ada salah satu penumpang yang hanya memberikan uang receh di bawah Rp500.

Mungkin pengamen tersebut menyadari bahwa yang rasa keikhlaslasan itu lebih tinggi, daripada besarnya uang yang ia terima.

Kegagalanku untuk mendapatkan hot seat ternyata berbuah kepada sebuah pelajaran hidup yang begitu berharga bagiku. Bagiku teladan hidup dapat diperoleh dari siapa saja, bukan hanya dari Da'i, Ustad, Kyai, Ulama ataupun Tokoh Masyarakat.

Belum tentu mereka yang kita anggap dapat dijadikan teladan dalam kehidupan kita melakukan apa yang dilakukan oleh pengamen tadi. TALK LESS DO MORE, better than TALK MORE AND MORE.

Aku berdoa dan berharap, suatu saat aku bisa bertemu lagi dengan pengamen tersebut. Bagiku dia adalah seorang yang sangat langka kutemui di zaman seperti ini. Seorang yang dengan ikhlas membantu tanpa pamrih, meskipun pada saat ia mengamen sedikit orang yang meberikan uluran tangannya, sekalipun orang yang telah di bantunya sebelumnya tidak mengulurkan tangannya.

Dari keadaan tersebut, sepertinya menggambarkan keadaan yang terjadi saat ini, dimana orang yang kaya tambah kaya dengan kekayaannya, dan orang sulit makin sulit dengan kesulitannya menemukan orang yang membantu mengulurkan kepedulian untuk mengulurkan tangan atas kesulitan yang mereka hadapi.

Bagiku, pengamen tadi mengingatkanku, bahwa rezeki yang telah di berikan oleh-nya kepada kita, tidak 100% itu milik kita. Ada bagian yang di berikan kepada kita, untuk kita salurkan kepada mereka yang membutuhkan uluran tangan kita. Ibaratnya, reziki itu hanyalah titipan dari Tuhan. Karena pada hakekatnya, amal kitalah yang kita bawa mati, bukan harta yang kita miliki.

    






 

0 komentar:

Posting Komentar